Membahas tentang hermeneutika, tentu sekaligus kita membahas tentang dewa Hermes. Seorang makhluk bergelar “dewa “ pada sebelum penyebutan namanya, sudah pasti beliau bukan manusia biasa. Ya, sebutan tersebut hanya diperuntukkan kepada seorang yang memiliki kuasa tertentu dan tingkatan sendiri bagi orang-orang Yunani kuno.
Tugas para dewa pun beragam, seperti Hermes ia bertugas sebagai
penyampai pesan ilahi kepada manusia. Adanya tingkatan yang berbeda antara
manusia dan dewa sudah menjelaskan bahwa terjadi juga perbedaan komunikasi
diantara keduanya.
Di sinilah pesan Hermes dianggap sakral dan penting. Manusia tak mungkin bisa mengetahui pesan-pesan dari
dewa jika tak ada yang menafsirkan. Dengan
demikian, sebelum sampai kepada manusia Hermes harus berkorban dengan
pikirannya untuk mengartikan pesan-pesan tersebut sehingga bisa diterima oleh
manusia.
Saya berani mengambil sebuah pernyataan bahwa tak ada utusan yang
tak ahli. Juru bicara pejabat yang sering kita dengar pada acara TV ONE itu
juga merupakan seorang ahli, tentu ahli komunikasi. Meski kita melihat
substansi bicaranya yang kadang cenderung memaksakan, ngotot dan tak tentu
arah. Tapi justru itu sebuah keahlian yang sulit dimiliki oleh orang lain.
Sebab tak banyak dari manuisa yang mau memperlihatkan hal-hal
demikian secara umum. Saya tak mengerti apa teori dalam komunikasi mengajarkan
hal tersebut atau tidak, yang jelas menurut saya sifat yang dimiliki oleh juru
bicara tadi juga merupakan sebuah keahlian.
Begitupun dengan Hermes, dipilih sebagai utusan sudah pasti piawai
dalam menafsirkan sesuatu. Itulah sebabnya mengapa kita sebut dengan
hermeneutika, asal katanya berasal dari dewa Hermes. Pekerjaan dewa Hermes pun
diadopsi menjadi pekerjaan hermeneutika.
Singaktnya hermeneutika merupakan salah satu teori filsafat yang
mencoba mengartikan, menafsirkan, menginterpretasi sebuah makna dalam teks
maupun lisan sehingga membuat kita paham dan mengerti untuk dikonsumsi.
Banyak jalan menuju Roma, sebuah pepatah yang mengartikan bahwa tak
hanya satu jalan dalam mencapai sesuatu. Hermeneutika juga demikian, ada banyak
cara yang disampaikan oleh filsuf-filsuf terdahulu dalam memahami. Memahami apapun,
teks-teks kuno, kitab-kitab suci agama, perkataan tokoh agama, percakapan
dengan teman dan lain sebagainya. mustahil kita dapat berkomunikasi jika tak
memahami satu sama lain.
Salah satu cara yang digunakan oleh Hans-Georg Gadamer seorang
filsuf asal Jerman adalah menggunakan prasangka. Menurutnya tak ada sesuatu
maknapun yang dapat ditangkap tanpa prasangka. Bahkan prasangka merupakan unsur
yang wajar jika digunakan sebagai instrumen pemahaman. Sebab cara tersebut
secara tidak langsung akan membawa kita untuk berfikir. Jika diruntut maka tak ada
prasangka tanpa berfikir.
Penafsiran teks yang cenderung objektif dan ilmiah karena
pengetahuan yang kian berkembang, membuat manusia sering terbelenggu pada hasil
penelitian. Sehingga, ikatan-ikatan itu tak lagi lepas dalam pikiran. Manusia tak
lagi bebas mengeluarkan pendapat pribadi tentang sebuah penemuan. Karena jika
hal tersebut terjadi maka sesuatu yang kita lontarkan akan dicap sesuatu tanpa
dasar oleh para akademisi.
Saya perlu menjelaskan bahwa tulisan ini tidak sepenuhnya menjelaskan
bagaimana hermeneutika Gadamer. Tulisan ini tidak akan sampai pada kritiknya
terhadap filsuf lain dan dan metode-metode ilmiah yang mengesampingkan
prasangka. Saya hanya mencoba mencampuradukkan pengalam pribadi atau
cerita-cerita yang saya terima terhadap konsep yang dibawa oleh tokoh ini.
Terlahir sebagai manusia yang satu orangnya memiliki satu otak,
tentu cara menggunakannya berbeda dari setiap individu. Dengan begitu pemahaman
yang ini merupakan pemahaman yang bersifat sangat subyektif. Tak heran jika
pada suatu teks kita menemukan tafsiran yang beragam.
Bak bunga dalam kebun, akan terlihat lebih menarik jika warnanya
tak cuma satu. Itulah alasan mengapa Tuhan menciptakan makhluk bukan hanya satu
jenis dan mengapa dalam tafsiran seperti ini kita akan melihat berbagai banyak
perbedaan pandangan, diskusi, debat dan lain sebagainya.
Guru saya pernah bilang bahwa kita seharusnya terus berprasangka
baik, toh jika kemudian prasangka kita salah maka kita tak akan menerima
kerugian sama sekali. Pesan ini merupakan pesan yang bagus, mulia sekaligus
mendidik. Tentu saja, sebab itu pesan seorang guru kepada murid. Namun menurut
saya pesan semacam ini tak selama bisa digunakan dalam hermeneutika.
Terkadang kita berbeda prasangka saat melihat teks-teks tertentu.
Contoh kontektualisasi Perkataan Nietzsche yang bagai bom molotov itu “Tuhan
telah mati” merupakan bagian dari penafsirannya terhadap al-kitab yang berkata “Berbahagialah
orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan
sorga”.
Nietzsche mengartikan bahwa bagi mereka yang ingin menjadi hamba
sempurna secara moralitas tak perlu menjadi kaya sehingga manusia cenderung
malas dan tidak mau bersaing. Perkataan yang menggelegar itu keluar dari mulut
Nietzsche merupakan prasangka buruknya kepada Tuhan, Tuhan menurunkan sebuah
ayat yang membuat manusia tak menjadi kreatif.
Otak yang dititipkan tak begitu berguna. Jadi terjawab mengapa Nietzsche
tercatat sebagai salah satu manusia pembunuh Tuhan. Jika ditarik dengan
perkataan guru saya tadi sudah pasti Nietzsche adalah murid yang pembangkang.
Contoh lain yang saya temukan tentang pembangkangan terhadap guru
saya ini adalah cerita seroang teman perempuan yang kehabisan bensin di tengah
jalan. Entah berapa tetes keringat yang keluar saat mendorong motor, dirinya
ditegur oleh seorang laki-laki.
Sebagai perempuan berusia belum genap 20 tahun tentu merasa curiga
dan takut jika orang itu akan berbuat sesuatu. Otaknya pun berpikiran
macam-macam sehingga membuatnya enggan untuk menoleh dan menerima sapaan.
Apa yang terjadi. Pada akhirnya laki-laki yang menegur tadi
menawarkan bantuan untuk mengantarkan teman saya ke pom bensin terdekat. wah
sebuah prasangka yang salah memang. Namun menurut saya dia tidak akan rugi jika
berprasangka demikian. Sebab laki-laki itu belum tau bahwa teman saya lagi
memikirkan apa dan selanjutnya setidaknya itu bagian tahap awal untuk menjaga
dirinya sendiri.
Mungkin bisa jadi Gadamer tidak memikirkan hal-hal semacam ini. Karena
sependek sepengetahuan saya prasangka yang ia maksud hanya tertuju pada ilmu
pengetahuan. Penafsiran teks-teks lampau ataupun kalam ilahi.
Dan juga pembahasan Gadamer sebagai seroang filsuf tentu lebih
dalam dari hanya sekedar intrepetasi. Sementara kejadian secara spontan juga
bagian dari hermeneutika, teman saya harus menginterpretasikan apa maksud
laki-laki itu menegur dirinya. Jadi wajar jika ia mewanti-wanti pada kejadian
yang tidak diinginkan.
Peran hermeneutika memang sangat penting bagi kehidupan
sehari-hari. Seberapapun pembaca menolak, saya akan tetap mengatakan bahwa
hermeneutik merupakan hal yang tak akan pernah bisa dihindari. Karena isinya
merupakan refleksi yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua
pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan.
Setiap manusia sudah tentu memiliki pengalaman dan manusia juga perlu
berkomunikasi dan itu semua memerlukan hermeneutika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar